Puasa Seperti Setahun Penuh
Salah satu puasa yang dianjurkan/disunnahkan setelah berpuasa di
bulan Romadhon adalah puasa enam hari di bulan Syawal. Puasa ini
mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Dari Abu Ayyub Al Anshori,
Rosululloh bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164). Dari Tsauban, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
berpuasa enam hari setelah hari raya Iedul Fitri, maka seperti berpuasa
setahun penuh. Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh
lipatnya.” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil). Imam Nawawi rohimahulloh mengatakan dalam Syarh Shohih Muslim 8/138, “Dalam
hadits ini terdapat dalil yang jelas bagi madzhab Syafi’i, Ahmad, Dawud
beserta ulama yang sependapat dengannya yaitu puasa enam hari di bulan
Syawal adalah suatu hal yang dianjurkan.”
Dilakukan Setelah Iedul Fithri
Puasa Syawal dilakukan setelah Iedul Fithri, tidak boleh dilakukan di hari raya Iedul Fithri. Hal ini berdasarkan larangan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Umar bin Khothob, beliau berkata, “Ini
adalah dua hari raya yang Rosululloh melarang berpuasa di hari
tersebut: Hari raya Iedul Fithri setelah kalian berpuasa dan hari
lainnya tatkala kalian makan daging korban kalian (Iedul Adha).” (Muttafaq ‘alaih)
Apakah Harus Berurutan ?
Imam Nawawi rohimahulloh menjawab dalam Syarh Shohih Muslim 8/328: “Afdholnya
(lebih utama) adalah berpuasa enam hari berturut-turut langsung setelah
Iedul Fithri. Namun jika ada orang yang berpuasa Syawal dengan tidak
berturut-turut atau berpuasa di akhir-akhir bulan, maka dia masih
mendapatkan keuatamaan puasa Syawal berdasarkan konteks hadits ini”.
Inilah pendapat yang benar. Jadi, boleh berpuasa secara berturut-turut
atau tidak, baik di awal, di tengah, maupun di akhir bulan Syawal.
Sekalipun yang lebih utama adalah bersegera melakukannya berdasarkan
dalil-dalil yang berisi tentang anjuran bersegera dalam beramal sholih.
Sebagaimana Allah berfirman, “Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (Al Maidah: 48). Dan juga dalam hadits tersebut terdapat lafadz ba’da fithri (setelah hari raya Iedul Fithri), yang menunjukkan selang waktu yang tidak lama.
Mendahulukan Puasa Qodho’
Apabila seseorang mempunyai tanggungan puasa (qodho’) sedangkan ia ingin berpuasa Syawal juga, manakah yang didahulukan? Pendapat yang benar adalah mendahulukan puasa qodho’. Sebab mendahulukan sesuatu yang wajib daripada sunnah itu lebih melepaskan diri dari beban kewajiban. Ibnu Rojab rohimahulloh berkata dalam Lathiiful Ma’arif, “Barangsiapa
yang mempunyai tanggungan puasa Romadhon, hendaklah ia mendahulukan
qodho’nya terlebih dahulu karena hal tersebut lebih melepaskan dirinya
dari beban kewajiban dan hal itu (qodho’) lebih baik daripada puasa sunnah Syawal”. Pendapat ini juga disetujui oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Mumthi’. Pendapat ini sesuai dengan makna eksplisit hadits Abu Ayyub di atas.
Semoga kebahagiaan selalu mengiringi orang-orang yang menghidupkan sunnah Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Wallohu a’lam bish showab.
Perlu diketahui bahwa tidak boleh mendahulukan puasa Syawal sebelum meng-qadha’ puasa atau membayar utang puasa. Seharusnya yang dilakukan adalah puasa qadha’ dahulu lalu puasa Syawal. Karena jika kita mendahulukan puasa Syawal dari qadha’
sama saja dengan mendahulukan yang sunnah dari yang wajib. Ini tidaklah
tepat. Lebih-lebih lagi yang melakukannya tidak mendapatkan keutamaan
puasa 6 hari di bulan Syawal sebagaimana disebutkan dalam hadits,
Untuk mendapatkan keutamaan puasa setahun penuh, puasa Ramadhan haruslah dirampungkan secara sempurna, baru diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal.
Selain itu, qadha’ puasa berkaitan dengan dzimmah (kewajiban), sedangkan puasa Syawal tidaklah demikian. Dan seseorang tidak mengetahui kapankah ia masih hidup dan akan mati. Oleh karena itu, wajib mendahulukan yang wajib dari yang sunnah. Sebagaimana dalam hadits qudsi juga disebutkan bahwa amalan wajib itu lebih utama dari yang sunnah,
Sa’id bin Al Musayyib berkata mengenai puasa sepuluh hari (di bulan Dzulhijjah),
Adapun riwayat dari ‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha- yang menyebutkan,
Aisyah menunda qadha’ puasanya ini karena kesibukan beliau dalam mengurus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dikatakan oleh Yahya dalam Shahih Bukhari.
Semoga Allah senantiasa memberi taufik.
(*) Keterangan di atas kami sarikan dari kitab “Ahkam Maa Ba’da Ash Shiyam”, hal. 168 karya Syaikh Muhammad bin Rasyid Al Ghafiliy.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Posting Komentar
[ Dofollow Blog ]
Hargai penulis dengan cara memberikan komentar di artikel ini ya sobat.
Dan berkomentarlah dengan kata-kata yang sopan.
Thanks