Canting (Artika Sari Dewi) baru saja lulus S-2 dengan predikat magna
cumlaude. Film dibuka di sebuah rumah pengrajin batik di Kampung
Laweyan, Solo, ketika Canting dengan wajah berbinar melaporkan
kelulusannya kepada ayahnya.
Komentar sang ayah dengan nada tinggi dan marah, “Kok cuma magna, bukan
suma cumlaude…kakak-kakak kamu saja bisa, memangnya selama ini kamu
ngapain aja?” Namun, kemarahan sang ayah hanya sebentar, untuk kemudian
“O, ya ada surat untukmu.” Setelah membaca surat itu, Canting berkata,
“Baik ayah, saya bersedia melaksanakan isi surat ini.”
Adegan lalu berpindah ke Bali. Canting sedang berada di rumah besar
berdinding kaca, menghibur seorang pengantin wanita yang sedang gundah
karena mempelai pria tidak kunjung tiba padahal para tamu sudah datang.
Dari sinilah, kita diperkenalkan tokoh Raga (Tora Sudiro), seorang lelaki yang
karena pernah patah hati menjadi tidak percaya lagi pada perempuan dan pernikahan. Dialah biang kerok ketidakhadiran Tomtom, sehingga membuat Widya (Ririn Ekawati) sang pengantin wanita marah dan memutuskan hubungan. Namun, berkat Canting, mereka bersatu lagi. Dan, Raga juga tetap berusaha menghalangi mereka bersatu. Dengan perseteruan itu, Canting dan Raga dipertemukan.
karena pernah patah hati menjadi tidak percaya lagi pada perempuan dan pernikahan. Dialah biang kerok ketidakhadiran Tomtom, sehingga membuat Widya (Ririn Ekawati) sang pengantin wanita marah dan memutuskan hubungan. Namun, berkat Canting, mereka bersatu lagi. Dan, Raga juga tetap berusaha menghalangi mereka bersatu. Dengan perseteruan itu, Canting dan Raga dipertemukan.
Tidak sulit untuk menebak bahwa pertemuan dengan Canting dalam sekejap
dan semudah membalik telapak tangan langsung mengubah sikap Raga, yang
tadinya tidak percaya lagi pada cinta menjadi menye-menye dengan
mengatakan, “Kamu adalah perempuan yang berhasil membuatku jatuh cinta
lagi.” Tapi kan, tapi kan…”Sepulang dari Bali ini, saya akan menikah
dengan pria yang sudah ditentukan oleh ayah saya.” Sampai di sini, Anda
masih ingin mengetahui kelanjutan ceritanya? Anda pasti bercanda.
Tentu saja, Anda sudah tahu!
Tapi, baiklah, kita lihat bagaimana film ini menyambung alur ceritanya.
Jadi, sekembalinya di Solo, Canting pun dengan murung sibuk
mempersiapkan pernikahannya, dimulai dari prosesi foto pre-wedding yang
membuatnya uring-uringan. Penyebabnya, sang fotografer telat datang.
Ah, tentu penyebabnya karena hati Canting sudah tertambat pada Raga.
Dan, ketika sang fotografer nongol…jreng jreng jreng…ternyata dia
adalah Raga! Dan, tiba-tiba kita merasa sedang duduk di depan televisi
pada Sabtu pagi, menonton FTV edisi Bali/Solo/Jogja yang sedang
ngetren.
Jadi, masihkah ada alasan untuk menonton film ini? Mungkin,
satu-satunya alasan adalah Artika Sari Dewi. Dia memang selalu bermain
bagus, dan kali ini berperan sebagai perempuan Jawa yang modern tapi toh
masih tetap terkungkung pada nilai-nilai tradisional dan tunduk pada
kuasa ayahnya.
Sedangkan Tora Sudiro tidak akan pernah bisa menolong dirinya sendiri
lepas dari citranya sebagai pelawak cengengesan. Dengan penataan alur
yang dibuat sedemikian rupa agar mudah menyelesaikan konflik-konfliknya,
film ini pada akhirnya hanya sibuk berbicara tentang “tempat-tempat
indah” itu.
Eksplorasinya pada unsur-unsur eksotik dari budaya Jawa, misalnya
prosesi malam midodareni atau melihat Nungki Kusumastuti (sebagai ibu
Canting yang lembut dan pasrah) duduk bersimpuh membatik, memang cukup
menyenangkan.
Tapi, ya itu tadi, FTV atau bahkan sinetron-sinetron “streaming” pun
sudah mulai sering melakukannya, bahkan menjadikannya tren. Jadi, sudah
bukan hal yang istimewa lagi. Setting yang berkilau-kilau, juga adegan
koreografis kucing-kucingan di labirin kain batik ala Garin Nugroho,
tidak mampu mengatasi cerita yang lemah.
Posting Komentar
[ Dofollow Blog ]
Hargai penulis dengan cara memberikan komentar di artikel ini ya sobat.
Dan berkomentarlah dengan kata-kata yang sopan.
Thanks